Sejarah Mesjid Raya Baiturrahman Aceh
Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di
Aceh, dan menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Orang muslim yang datang
ke Banda Aceh rasanya belum sempurna apabila belum datang ke masjid ini.
Masjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota
yang dapat dilalui oleh semua kendaraan. Masjid Raya Baiturrahman
dijadikan sebagai titik nol kilometer jarak di kota Banda Aceh.
Saat ini mesjid Raya Baiturrahman mempunyai luas ± 31.000 m², memanjang
dari timur ke barat. Di sekeliling mesjid ini terdapat berbagai aspek
kehidupan masyarakat, mulai dari perdagangan, perkantoran, dan aspek
kehidupan masyarakat lainnya. Setiap hari orang dapat mendatangi dan
memasuki masjid ini untuk melihat-lihat keindahannya dan aktivitas di
dalamnya. Bagi mereka yang akan memasuki masjid atau halaman masjid
harus berpakaian muslim atau muslimah. Dilarang bagi yang tidak memakai
busana muslim/muslimah masuk ke dalam masjid ini.
Struktur mesjid ini terdiri dari bangunan induk, bangunan penunjang, dan
arena sosial. Setelah perluasannya tahun 1992. Mesjid Raya Baiturrahman
kini memiliki keadaan sebagai berikut: Luas bangunan induk 56 x 34 m,
luas serambi depan 12,5 x 10,5 m, tiang bulat 136 buah, tiang persegi
empat 32 buah, kubah 7 buah, menara 5 buah, ruang belajar (2 lantai)
sebanyak 12 ruangan, ruang imam 1 buah, ruang kantor remaja mesjid 1
buah, ruang kantor pengurus masjid 1 buah, ruang perpustakaan, ruang
parkir, dan fasilitas wudhu’/MCK.
Masjid ini adalah masjid yang menjadi kebanggaan seluruh masyarakat
Aceh. Ia tidak sekedar sebuah tempat religius semata, tetapi mempunyai
makna yang dalam berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah
ini. Ketika Belanda belum menguasainya, masjid ini dipergunakan oleh
pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.
Sebuah pertanyaan mungkin timbul di benak pengunjung tentang kapan tepatnya masjid ini dibangun.
Sebelum tampak sebagai masjid seperti sekarang, beberapa tulisan
tentang sejarah masjid ini menyebutkan bahwa masjid ini mulai dibangun
pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda
(1607-1636), tetapi ada yang mensinyalir bahwa masjid ini dibangun
pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada
tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa
pemerintahan Nakiatuddin Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Ketika perang antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pada tahun
1873, banyak tempat di Aceh yang dijadikan benteng oleh para pejuang
Aceh, salah satu yang paling terkenal adalah Mesjid Raya Baiturrahman.
Di tempat inilah para pemimpin perang di pihak Aceh mengkonsentrasikan
diri dalam melawan para serdadu Belanda yang memerangi tanah air mereka.
Di pihak Belanda juga berusaha dengan segala daya agar pusat pertahanan
rakyat Aceh tersebut dapat mereka rebut.
Pertempuran antara keduanya terjadi begitu dahsyad dalam memperebutkan
Mesjd Raya Baiturrahman. Mereka silih berganti untuk menguasainya. Dalam
sebuah pertempuran memperebutkan mesjid ini, Jenderal Kohler tewas oleh
sebutir peluru yang dimuntahkan oleh senjata prajurit Kerajaan Aceh
pada tanggal 14 April 1873. Tiga hari setelah Jenderal Kohler tewas,
Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapat izin dari
pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April, mereka lalu membongkar
sauh dan meninggalkan pantai Aceh pada 29 April 1873. Agresi mereka yang
pertama ini mengalami kegagalan total.
Untuk menubus kekalahannya, Belanda mengangkat kembali Letnan Jenderal
Van Swieten. Pensiunan panglima pasukan Hindia Belanda yang khusus
didatangkan dari Nederland pada tanggal 9 Juli 1873 untuk memimpin
agresi kedua yang dilancarkan pada tanggal 9 Desember 1873. Dua puluh
delapan hari kemudian yakni pada tanggal 6 Januari 1874, Belanda dapat
menghancurkan Mesjid Raya Baiturrahman dan menguasainya setelah dengan
gigihnya dipertahankan oleh Tuanku Hasyim Banta Muda dan panglima Teuku
Imeum Lueng Bata beserta pasukannya. Pihak Belanda menelan korban
sebanyak 14 bawahan mati, 11 opsir, dan 197 bawahan luka-luka.
Sebelum kembali ke Jawa (Batavia), Jenderal van Swieten memaklumkan
bahwa pemerintah Belanda menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama
orang-orang Aceh dan hendak membangun mesjid yang telah hancur akibat
serangan Belanda tersebut. Rencana pembangunan tersebut dibuat oleh
arsitek De Bruins dari Departemen Pekerjaan Umum (Departement van Burgelijke Openbare Werken)
di Betawi bekerjasama dengan opzichter L.P. Luyks dan insinyur-
insinyur lain dengan dibantu oleh seorang penghulu besar yang berasal
dari Garut Jawa Barat agar polanya tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.
Tidak sederhana untuk membuat mesjid sesuai dengan yang direncanakan
oleh Belanda, kecuali kalau mereka mau membuatnya dari kayu nangka dan
atap nipah. Hal yang menarik dalam rangka merangkul rakyat yang agamanya
berlainan dengan Belanda, mereka begitu susah payah berusaha untuk
mendirikan sebuah mesjid dengan harapan akan meninggalkan kesan yang
baik di hati rakyat Aceh.
Untuk pembangunan mesjid, Belanda kesulitan menyangkut masalah tenaga
kerja, pemborong, dan masalah bahan bangunan. Dalam masalah tenaga kerja
ini mulanya orang-orang Belanda mengharapkan orang- orang Acehlah yang
dapat bekerja dalam proyek ini, tetapi gagal sehingga terpaksalah
akhirnya dipakai tenaga orang Cina. Karena tidak kenal medan bangunan
dan takut kesulitan dalam pelaksanaan, maka pemborong-pemborong yang
jumlahnya memang tidak banyak di Jawa itu tidak ikut penawaran. Hanya
seorang yang memasukkan penawaran yaitu Lie A. Sie, seorang letnan Cina
yang memperoleh borongan itu dengan biaya f 203.000 (dua ratus tiga ribu
gulden). Bahan-bahan bangunan berasal dari dalam negeri dan luar
negeri, misalnya kapur dari Pulau Pinang, batu bata dari negeri Belanda,
batu pualam untuk tangga dan lantai berasal dari Cina, besi untuk
jendela diimpor dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma), tiang-tiang
besi yang berat berasal dari Surabaya.
Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Jenderal Van der Heyden
pada tahun 1879. Pada tanggal 27 Desember 1881 terjadi penyerahan kunci
dari Gubernur A. Pruys van der Hoeven kepada Tgk. Kadi Malikul Adil
sebagai tanda telah selesainya pembangunan mesjid. Acara ini diiringi
oleh tembakan meriam tiga belas kali dan dilaksanakannya kenduri sebagai
rasa syukur. Pengurusannya diserahkan kepada Teungku Syekh Marhaban,
seorang ulama terkenal yang berasal dari Pidie.
Gaya arsitekturnya didominasi oleh kubah, sehingga corak utama dari
mesjid tersebut sebagai mesjid berkubah. Penampilannya adalah gaya Timur
Tengah yang diolah secara cermat disesuaikan dengan tujuan penggunaan
dan fungsi mesjid. Kubah-kubah pada mesjid diperkuat dengan
bentuk-bentuk lengkung dari elemen-elemen seperti pintu-pintu dan
jendela yang dihiasi dengan ornamen-ornamen untuk menghiasi bangunan
mesjid.
Mesjid Raya Baiturrahman jika dilihat dari bentuknya tampak bangunan
Eropa bergaya gotik. Di bagian ruang mesjid terdapat pilar beton yang
berjejer yang tersusun rapi dan di bagian dasar pilar berpola hias
sulur-sulur daun yang bahannya terbuat dari kuningan. Sementara mimbar
mesjid terbuat dari kayu jati berukir-sulur-sulur daun dari bunga
teratai. Pintu mesjid terbuat dari kuningan berpola ragam hias bunga
teratai dan jendela terbuat dari kayu jati yang berukiran sulur-sulur
daun.
Pada masa kemerdekaan RI yaitu pada tahun 1958, di bawah kepemimpinan
Gubernur Ali Hasjmy, masjid ini kembali diperluas menjadi lima kubah dan
ditambah dengan dua buah menara di sampingnya sehingga bisa menampung
10.000 jamaah. Pelaksanaan perluasan Mesjid Raya Baiturrahman diserahkan
kepada N.V. Zein dari Jakarta. Peletakan batu pertama dilakukan oleh
Menteri Agama Republik Indonesia K.H. M. Ilyas pada hari Sabtu 1 Shafat
1387 H bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1958. Pada perluasan ini
ditambah lagi dua buah kubah dan dua menara sebelah utara dan selatan.
Dengan demikian, Mesjid Raya Baiturrahman mempunyai tujuh buah kubah dan
dua menara. Perluasan ini selesai pada tahun 1967.
Dalam rangka pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Nasional XII
tanggal 7 sampai dengan 14 Juni 1981 di Banda Aceh, masjid ini
diperindah dengan pembuatan pelataran, pemasangan klinker di sepanjang
jalan-jalan dan pekarangan, perbaikan dan penambahan tempat wudhu’ dari
porselin, dan pemasangan pintu kerawang serta chandelir dari bahan
kuningan di sekeliling kubah bagian dalam serta instalasi air mancur
dalam kolam di halaman depan.
Saat ini, di depan masjid ini terdapat Menara Tugu Modal, yang merupakan
monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai
yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa. Dari menara ini
dapat dilihat pemandangan kota Banda Aceh dan sekitarnya, yang
dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan, dan puncak gunung Seulawah
Agam. Selain itu, tampak juga laut menghampar luas, yang dikenal dengan
nama Selat Malaka.
Penulis :
|
Sudirman
|
Agus
Budi Wibowo
|
Cut
Zahrina
|
Dahlia
|
Editor:
|
Prof.
Dr. Rusydi Ali Muhammad
|
Balai
Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2011
|
- Apabila anda ingin mengutip atau mengkopi tulisan ini, harap mencantumkan sumber semestinya untuk menghargai penulis dan memiliki sumber yang benar (valid).
- Sumber foto, koleksi bijeh.com, jika anda berminat memiliki foto-foto aceh tempo dulu, silahkan tulis alamat email pada kotak komentar.
DAFTAR PUSTAKA :
Ajisman dan Almaizon, Bangunan Bersejarah di Kabupaten Tanah Datar, BKSNT Padang, 2004.
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta : Beuna, 1983.
___________, Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.
___________, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta : Gema Insani, 1999.
Abdul Rochyn, Sejarah Arsitektur Islam sebuah Tinjauan, Bandung : Angkasa, 1983.
Arabesk, Banda Aceh : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Mei 2002.
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Sejarah Islam di Sumatera, Medan : Pustaka Nasional, 1950.
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.
Juinboll, Th.W., “Atjeh” The Encyclopaedia of Islam, Volume 1, 1960.
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1, Medan: Waspada, 1980.
_______________, Aceh Sepanjang Abad Jilid 2, Medan: Waspada, 1980.
Syafwandi, “Konsep-konsep dasar Tentang Pelestarian Arsitektur Tradisional Aceh, dalam Majalah Intim, Jakarta: Intim, 1988.
Tugiyono KS. Dkk., Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Wiryoprawiro, Zein. M., Perkembangan Arsitektur Mesjid di Jawa Timur, Surabaya: Bina Ilmu, 1986