Minggu, 28 Juni 2015

Sejarah Mesjid Raya Baiturrahman Aceh

 Sejarah Mesjid Raya Baiturrahman Aceh

Mesjid Raya Baiturrahman merupakan mesjid yang terbesar dan termegah di Aceh, dan menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Orang muslim yang datang ke Banda Aceh rasanya belum sempurna apabila belum datang ke masjid ini. Masjid ini mempunyai arsitektur yang indah dan terletak di pusat kota yang dapat dilalui oleh semua kendaraan. Masjid Raya Baiturrahman dijadikan sebagai titik nol kilometer jarak di kota Banda Aceh.
Saat ini mesjid Raya Baiturrahman mempunyai luas ± 31.000 m², memanjang dari timur ke barat. Di sekeliling mesjid ini terdapat berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari perdagangan, perkantoran, dan aspek kehidupan masyarakat lainnya. Setiap hari orang dapat mendatangi dan memasuki masjid ini untuk melihat-lihat keindahannya dan aktivitas di dalamnya. Bagi mereka yang akan memasuki masjid atau halaman masjid harus berpakaian muslim atau muslimah. Dilarang bagi yang tidak memakai busana muslim/muslimah masuk ke dalam masjid ini. 
Struktur mesjid ini terdiri dari bangunan induk, bangunan penunjang, dan arena sosial. Setelah perluasannya tahun 1992. Mesjid Raya Baiturrahman kini memiliki keadaan sebagai berikut: Luas bangunan induk 56 x 34 m, luas serambi depan 12,5 x 10,5 m, tiang bulat 136 buah, tiang persegi empat 32 buah, kubah 7 buah, menara 5 buah, ruang belajar (2 lantai) sebanyak 12 ruangan, ruang imam 1 buah, ruang kantor remaja mesjid 1 buah, ruang kantor pengurus masjid 1 buah, ruang perpustakaan, ruang parkir, dan fasilitas wudhu’/MCK.
Masjid ini adalah masjid yang menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Aceh. Ia tidak sekedar sebuah tempat religius semata, tetapi mempunyai makna yang dalam berkaitan dengan sejarah pendudukan Belanda di daerah ini. Ketika Belanda belum menguasainya, masjid ini dipergunakan oleh pejuang-pejuang Aceh sebagai markas pertahanan mereka.
Sebuah pertanyaan mungkin timbul di benak pengunjung tentang kapan tepatnya masjid ini dibangun. Sebelum tampak sebagai masjid seperti sekarang, beberapa tulisan tentang sejarah masjid ini menyebutkan bahwa masjid ini mulai dibangun pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), tetapi ada yang mensinyalir bahwa masjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah pada tahun 1292 (621H). Perluasan mesjid juga dilakukan kembali pada masa pemerintahan Nakiatuddin Syah pada tahun 1675 - 1678 M.
Ketika perang antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pada tahun 1873, banyak tempat di Aceh yang dijadikan benteng oleh para pejuang Aceh, salah satu yang paling terkenal adalah Mesjid Raya Baiturrahman. Di tempat inilah para pemimpin perang di pihak Aceh mengkonsentrasikan diri dalam melawan para serdadu Belanda yang memerangi tanah air mereka. Di pihak Belanda juga berusaha dengan segala daya agar pusat pertahanan rakyat Aceh tersebut dapat mereka rebut. 
Pertempuran antara keduanya terjadi begitu dahsyad dalam memperebutkan Mesjd Raya Baiturrahman. Mereka silih berganti untuk menguasainya. Dalam sebuah pertempuran memperebutkan mesjid ini, Jenderal Kohler tewas oleh sebutir peluru yang dimuntahkan oleh senjata prajurit Kerajaan Aceh pada tanggal 14 April 1873. Tiga hari setelah Jenderal Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April, mereka lalu membongkar sauh dan meninggalkan pantai Aceh pada 29 April 1873. Agresi mereka yang pertama ini mengalami kegagalan total.
Untuk menubus kekalahannya, Belanda mengangkat kembali Letnan Jenderal Van Swieten. Pensiunan panglima pasukan Hindia Belanda yang khusus didatangkan dari Nederland pada tanggal 9 Juli 1873 untuk memimpin agresi kedua yang dilancarkan pada tanggal 9 Desember 1873. Dua puluh delapan hari kemudian yakni pada tanggal 6 Januari 1874, Belanda dapat menghancurkan Mesjid Raya Baiturrahman dan menguasainya setelah dengan gigihnya dipertahankan oleh Tuanku Hasyim Banta Muda dan panglima Teuku Imeum Lueng Bata beserta pasukannya. Pihak Belanda menelan korban sebanyak 14 bawahan mati, 11 opsir, dan 197 bawahan luka-luka.
Sebelum kembali ke Jawa (Batavia), Jenderal van Swieten memaklumkan bahwa pemerintah Belanda menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama orang-orang Aceh dan hendak membangun mesjid yang telah hancur akibat serangan Belanda tersebut. Rencana pembangunan tersebut dibuat oleh arsitek De Bruins dari Departemen Pekerjaan Umum (Departement van Burgelijke Openbare Werken) di Betawi bekerjasama dengan opzichter L.P. Luyks dan insinyur- insinyur lain dengan dibantu oleh seorang penghulu besar yang berasal dari Garut Jawa Barat agar polanya tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Tidak sederhana untuk membuat mesjid sesuai dengan yang direncanakan oleh Belanda, kecuali kalau mereka mau membuatnya dari kayu nangka dan atap nipah. Hal yang menarik dalam rangka merangkul rakyat yang agamanya berlainan dengan Belanda, mereka begitu susah payah berusaha untuk mendirikan sebuah mesjid dengan harapan akan meninggalkan kesan yang baik di hati rakyat Aceh.
Untuk pembangunan mesjid, Belanda kesulitan menyangkut masalah tenaga kerja, pemborong, dan masalah bahan bangunan. Dalam masalah tenaga kerja ini mulanya orang-orang Belanda mengharapkan orang- orang Acehlah yang dapat bekerja dalam proyek ini, tetapi gagal sehingga terpaksalah akhirnya dipakai tenaga orang Cina. Karena tidak kenal medan bangunan dan takut kesulitan dalam pelaksanaan, maka pemborong-pemborong yang jumlahnya memang tidak banyak di Jawa itu tidak ikut penawaran. Hanya seorang yang memasukkan penawaran yaitu Lie A. Sie, seorang letnan Cina yang memperoleh borongan itu dengan biaya f 203.000 (dua ratus tiga ribu gulden). Bahan-bahan bangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri, misalnya kapur dari Pulau Pinang, batu bata dari negeri Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai berasal dari Cina, besi untuk jendela diimpor dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma), tiang-tiang besi yang berat berasal dari Surabaya.
Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan oleh Jenderal Van der Heyden pada tahun 1879. Pada tanggal 27 Desember 1881 terjadi penyerahan kunci dari Gubernur A. Pruys van der Hoeven kepada Tgk. Kadi Malikul Adil sebagai tanda telah selesainya pembangunan mesjid. Acara ini diiringi oleh tembakan meriam tiga belas kali dan dilaksanakannya kenduri sebagai rasa syukur. Pengurusannya diserahkan kepada Teungku Syekh Marhaban, seorang ulama terkenal yang berasal dari Pidie.
Gaya arsitekturnya didominasi oleh kubah, sehingga corak utama dari mesjid tersebut sebagai mesjid berkubah. Penampilannya adalah gaya Timur Tengah yang diolah secara cermat disesuaikan dengan tujuan penggunaan dan fungsi mesjid. Kubah-kubah pada mesjid diperkuat dengan bentuk-bentuk lengkung dari elemen-elemen seperti pintu-pintu dan jendela yang dihiasi dengan ornamen-ornamen untuk menghiasi bangunan mesjid.
Mesjid Raya Baiturrahman jika dilihat dari bentuknya tampak bangunan Eropa bergaya gotik. Di bagian ruang mesjid terdapat pilar beton yang berjejer yang tersusun rapi dan di bagian dasar pilar berpola hias sulur-sulur daun yang bahannya terbuat dari kuningan. Sementara mimbar mesjid terbuat dari kayu jati berukir-sulur-sulur daun dari bunga teratai. Pintu mesjid terbuat dari kuningan berpola ragam hias bunga teratai dan jendela terbuat dari kayu jati yang berukiran sulur-sulur daun.
Pada masa kemerdekaan RI yaitu pada tahun 1958, di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Hasjmy, masjid ini kembali diperluas menjadi lima kubah dan ditambah dengan dua buah menara di sampingnya sehingga bisa menampung 10.000 jamaah. Pelaksanaan perluasan Mesjid Raya Baiturrahman diserahkan kepada N.V. Zein dari Jakarta. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Menteri Agama Republik Indonesia K.H. M. Ilyas pada hari Sabtu 1 Shafat 1387 H bertepatan dengan tanggal 16 Agustus 1958. Pada perluasan ini ditambah lagi dua buah kubah dan dua menara sebelah utara dan selatan. Dengan demikian, Mesjid Raya Baiturrahman mempunyai tujuh buah kubah dan dua menara. Perluasan ini selesai pada tahun 1967.
Dalam rangka pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Nasional XII tanggal 7 sampai dengan 14 Juni 1981 di Banda Aceh, masjid ini diperindah dengan pembuatan pelataran, pemasangan klinker di sepanjang jalan-jalan dan pekarangan, perbaikan dan penambahan tempat wudhu’ dari porselin, dan pemasangan pintu kerawang serta chandelir dari bahan kuningan di sekeliling kubah bagian dalam serta instalasi air mancur dalam kolam di halaman depan.
Saat ini, di depan masjid ini terdapat Menara Tugu Modal, yang merupakan monumen bahwa Aceh pernah dinyatakan sebagai Daerah Modal di dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Menara terdiri dari enam lantai yang dapat dicapai melalui lift maupun tangga biasa. Dari menara ini dapat dilihat pemandangan kota Banda Aceh dan sekitarnya, yang dikelilingi oleh Pegunungan Bukit Barisan, dan puncak gunung Seulawah Agam. Selain itu, tampak juga laut menghampar luas, yang dikenal dengan nama Selat Malaka.
Penulis :
Sudirman 
Agus Budi Wibowo 
Cut Zahrina 
Dahlia
Editor:
Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad
Balai Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional Banda Aceh 2011
  1. Apabila anda ingin mengutip atau mengkopi tulisan ini, harap mencantumkan sumber semestinya untuk menghargai penulis dan memiliki sumber yang benar (valid).
  2. Sumber foto, koleksi bijeh.com, jika anda berminat memiliki foto-foto aceh tempo dulu, silahkan tulis alamat email pada kotak komentar.
DAFTAR PUSTAKA :
Ajisman dan Almaizon, Bangunan Bersejarah di Kabupaten Tanah Datar, BKSNT Padang, 2004.
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta : Beuna, 1983.
___________, Semangat Merdeka, 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta : Bulan Bintang, 1985.
___________, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun  Bangsa, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.
Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, Jakarta : Gema Insani, 1999.
Abdul Rochyn,  Sejarah Arsitektur Islam sebuah Tinjauan, Bandung : Angkasa, 1983.
Arabesk, Banda Aceh : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Provinsi Nanggroe  Aceh Darussalam, Mei 2002.
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Sejarah Islam di Sumatera, Medan : Pustaka Nasional, 1950.
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Ibrahim Alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1999.
Juinboll, Th.W., “Atjeh” The Encyclopaedia of Islam, Volume 1, 1960.
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid 1, Medan: Waspada, 1980.
_______________, Aceh Sepanjang Abad Jilid 2, Medan: Waspada, 1980.
Syafwandi, “Konsep-konsep dasar Tentang Pelestarian Arsitektur Tradisional Aceh, dalam Majalah Intim, Jakarta: Intim, 1988.
Tugiyono KS. Dkk., Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya,  2001.
Wiryoprawiro, Zein. M., Perkembangan Arsitektur Mesjid di Jawa Timur, Surabaya: Bina Ilmu, 1986

Tidak ada komentar:

Posting Komentar